ASPEK TULISAN HALAL DARI SEGI HUKUM
PENDAHULUAN
Halal (حلال, halāl, halaal) adalah istilah bahasa Arab
dalam agama
Islam yang berarti "diizinkan" atau "boleh". Istilah
ini dalam kosakata sehari-hari lebih sering digunakan untuk merujuk kepada makanan dan minuman yang
diizinkan untuk dikonsumsi menurut dalam Islam. Sedangkan
dalam konteks yang lebih luas istilah halal merujuk kepada segala
sesuatu yang diizinkan menurut hukum Islam
(aktivitas, tingkah laku, cara berpakaian dll). Di Indonesia,
sertifikasi kehalalan produk pangan ditangani oleh Majelis Ulama Indonesia–secara spesifik Lembaga
Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia. Lawan dari halal
adalah haram.
PERMASALAHAN
Bagi konsumen, terutama konsumen
muslim, keuntungan dari sertifikat halal sudah jelas: mengetahui sebuah produk telah
bersertifikat halal berarti keamanan dan ketenangan batin dalam mengkonsumsi
dan menggunakan produk tersebut. Konsumen mendapat kepastian dan jaminan bahwa
produk tersebut tidak mengandung sesuatu yang tidak halal dan juga diproduksi
dengan cara yang halal. Sertifikat halal memberikan keuntungan bagi semua
konsumen, tidak hanya konsumen muslim saja, karena halal tidak saja berarti
kandungannya halal namun juga diproses dengan cara yang ber-etika, sehat dan
baik.
Lalu apa keuntungan bagi produsen
apabila produknya telah bersertifikat halal? Halal itu baik untuk bisnis juga.
Ini adalah salah satu bentuk kewajiban sosial dan dapat meningkatkan
kepercayaan dan loyalitas konsumen. Sertifikat halal membuka peluang eksport
yang luas dan karena sertifikasi halal bukanlah kewajiban, produk yang telah
bersertifikat halal memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan dengan
perusahaan pangan lainnya.
Sertifikasi halal diperlukan untuk
memproduksi produk-produk untuk konsumen produk halal yang saat ini mencakup
konsumen muslim dan juga non-muslim yang ingin menjaga kesehatannya dengan
menjaga makanannya. Saat ini terdapat 1,4 milyar penduduk muslim dan jutaan
konsumen non-muslim lainnya yang memilih untuk mengkonsumsi produk halal.
Dengan mensertifikasi kehalalan produk, produk tersebut mendapat kesempatan
untuk menembus pasar pangan halal yang diperkirakan bernilai sekitar 150 hingga
500 milyar USD.
Logo halal merupakan tiket
diterimanya produk dalam komunitas konsumen halal di seluruh dunia.
Secara singkat, keuntungan
memperoleh sertifikat halal adalah:
- Kesempatan untuk meraih pasar pangan halal global yang diperkirakan sebanyak 1,4 milyar muslim dan jutaan non-muslim lainnya.
- Sertifikasi Halal adalah jaminan yang dapat dipercaya untuk mendukung klaim pangan halal.
- 100% keuntungan dari market share yang lebih besar: tanpa kerugian dari pasar/klien non-muslim.
- Meningkatkan marketability produk di pasar/negara muslim.
- Investasi berbiaya murah dibandingkan dengan pertumbuhan revenue yang dapat dicapai.
- Peningkatan citra produk.
Maka sekarang pastikan ada label
halal pada kemasan makanan atau minuman yang akan dikonsumsi agar lebih aman
dan mutawarik dalam menunaikan agama.
Logo Halal Pada Kemasan Produk Makanan
Merupakan suatu keharusan bagi seorang muslim untuk berhati hati dalam memilih makanan yang akan dikonsumsi. Ini tidak lain dikarenakan makanan yang akan masuk dalam perut kita akan menjadi pengganti sel-sel organ tubuh yang nantinya akan kita gunakan untuk beribadah kepada Allah.
Dalam sebuah
hadits disebutkan bahwa efek dari makanan akan memengaruhi diterimanya suatu
ibadah, salah satu contoh adalah Doa. Dalam sebuah hadits Rasullullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengisahkan seorang musafir yang berbekal makanan haram.
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا وَإِنَّ
اللَّهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ{ يَا
أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا
تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ }
وَقَالَ{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ }
ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
وَقَالَ{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ }
ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Wahai manusia, sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak
menerima kecuali dari yang baik dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada
kaum mukminin dengan apa yang diperintahkan pula kepada para rasul, firman-Nya,
‘Wahai para Rasul, makanlah dari yang baik-baik dan beramallah dengan amalan
shalih, sesungguhnya aku mengetahui apa yang kalian kerjakan.’ Dan Firman-Nya,
‘ wahai orang–orang yang beriman, makanlah dari hal yang baik-baik dari rezeki
yang telah Kami berikan kepada kalian.’ Kemudian Rasulullah menceritakan
seorang laki-laki yang bersafar jauh hingga acak-acakan rambutnya dan berdebu,
ia menengadahkan tangannya ke langit seraya berkata, ‘Ya Rabb… Ya Rabb… namun
makanannya haram, minumannya haram, bajunya juga haram, serta diberi gizi haram,
maka mana mungkin dijawab doanya?!’” (Riwayat Muslim
no.1015)
Bisa dibayangkan,
betapa meruginya seorang muslim jika ia tidak dapat menikmati hasil dari
ibadahnya dikarenakan mengonsumsi makanan haram.
Seperti diketahui,
aneka produk makanan yang beredar di pasaran baik impor maupun hasil lokal
dengan beragam bentuk dan kemasan terkadang membingungkan masyarakat yang nota
bene muslim ini untuk menyeleksi kehalalannya. Melihat realita di atas,
produsen pun tidak tinggal diam untuk mendongkrak pemasaran mereka agar dapat
dijual ke konsumen muslim, yang diantaranya adalah dengan mencantumkan label
halal pada setiap produk makanan.
Seberapa Pentingkah Sertifikat halal?
Halal atau
haramnya makanan sebenarnya merupakan perkara yang jelas dalam agama Islam, sehingga
kebanyakan kaum muslimin mengetahui jenis makanan yang haram untuk dikonsumsi,
hal tersebut telah dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam sebuah hadits,
إِنَّ اْلحَلاَلَ
بَيِّنٌ وَإِنَّ اْلحَرَامَ بَيِّنٌ
“Sesungguhnya
halal itu jelas dan haram itu jelas …” (Riwayat
Bukhari, No.2051 Muslim, No.1599)
Namun bagaimana
jika makanan tersebut telah dikemas sedemikian rupa dengan komposisi dari
berbagai bahan? Tentu banyak dari kita tidak tahu tentang kandungan yang ada di
dalamnya. Melihat fenomena ini maka bermunculan ide dari kaum muslimin untuk
mencari jalan keluar dari masalah tersebut.
Maka, muncullah
ide pencantuman logo halal pada produk yang telah terdaftar halal pada lembaga
yang diakui, yang kita kenal sekarang dengan Sertifikat Halal LPPOM MUI. Dengan
demikian, setiap produk yang ingin mendapat sertifikat halal, mereka harus
mengikuti proses menurut standar yang telah ditetapkan oleh lembaga tersebut.
Selanjutnya lembaga ini memiliki auditor untuk melaksanakan audit halal, dari
para ahli di bidang pangan, kimia, pertanian, biologi, fisika, hingga bidang
kedokteran hewan, yang konon mereka dipilih melalui proses seleksi kompetensi,
kualitas dan integritas, sebelum mereka ditugaskan.
Jika kita tinjau
dari usaha tersebut dan dari segi maslahat dan mafsadah, maka bisa kita
kategorikan bahwa logo halal MUI ini sangat penting, karena ini merupakan salah
satu sarana dalam melindungi konsumen muslim dari semua jenis makanan haram
yang beredar di masyarakat. Dengan demikian, setiap produsen tidak bisa
seenaknya sendiri mencantumkan logo halal pada produk mereka, karena untuk
mendapatkan kepercayaan halal ini mereka akan mendaftarkan dulu produknya demi
mendapatkan memo halal dari lembaga ini dengan proses menurut standar mereka.
Bagaimana kita bersikap?
Melihat logo halal
MUI dalam kemasan makanan adalah cara termudah bagi orang awam dalam memilih
makanan kemasan. Akan tetapi seberapa besar keabsahan sertifikat tersebut?
Untuk itu kita
kembalikan perkara ini kepada kaidah umum fikih yaitu tentang persaksian
(syahadah), yaitu kesaksian dua orang laki-laki yang adil dalam syariat adalah
sah menurut hukum. Dan tentunya mereka yang menjadi tim halal MUI ini lebih
dari sekadar dua orang dan terlebih lagi mereka adalah pakar dalam bidang pangan.
Apalagi, MUI adalah lembaga resmi yang diakui oleh pemerintah dan masyarakat
untuk sertifikat tersebut. Atas dasar ini, a logo tersebut dapat kita jadikan
sarana dalam membantu memilih makanan halal pada produk kemasan.
Namun, bagaimana
jika ada isu haram dalam beberapa produk yang berlabel halal ini (contohnya,
adanya kode E471/E472 yang diisukan mengandung lemak babi dalam beberapa produk
makanan yang berlogo halal -red)? Tentu kita sebagai seorang muslim akan
mengembalikan hal tersebut dengan cara bersikap bijak sebagaimana tuntunan
Allah Ta’ala dalam Al Quran,
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا
قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu.” (al-Hujurat: 6)
Kita perlu
tabayyun (konfirmasi) dan berusaha mencari kebenaran berita tersebut, agar
tidak salah dalam mengambil keputusan. Sebab, hukum asal dari segala sesuatu
yang ada di dunia ini adalah halal kecuali yang diharamkan, sebagaimana sebuah
kaidah fikih mengatakan,
الأَصْلُ فِيْ
اْلأَشْيَاءِ اْلإِبَاحَةٌ حَتَى يَدُلَّ اْلدَلِيْلُ عَلَى اْلتَحْرِيْمِ
“Asal segala
sesuatu adalah halal, sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya.”
Akan tetapi, cara
berhati-hati adalah jalan terbaik dalam hal duniawi, yaitu wara’ dari makanan
tersebut, sampai ditemukan kejelasan berita yang ada. Adapun arti wara’ menurut
Syekh Ibnu Utsaimin dalam “Fathu Dzil Jalali wal Ikram Syarah Bulugul Maram”
pada Muqadimah Kitab Zuhud wal Wara’ adalah:
الوَرَعُ : تَرْكُ
مَا يَضُرُّ فِي اْلآخِرَةِ
“Meninggalkan
sesuatu yang membahayakan urusan akhirat.”
Jadi, ikhthiyat
(hati-hati) dan wara’ bukan sebagai dasar pengharaman, namun keduanya adalah
sebagai kewaspadaan belaka.
Dan perlu
ditegaskan, hal tersebut (ikhthiyat dan wara’ -red) tidak mengurangi legalitas
sertifikat halal yang telah kita ketahui begitu besar manfaatnya. Dan didukung
juga bahwa sertifikat tersebut dikeluarkan setelah adanya proses dari pakar
makanan yang ahli dalam bidangnya. Karena untuk mengetahui kandungan kimia
bahan makanan dalam kemasan adalah perkara yang tidak gampang, dan ini adalah
perkara yang dikategorikan masalah ketrampilan duniawi, sedangkan Rasulullah
telah menyerahkan perkara-perkara duniawi kepada orang yang memiliki keahlian
tersebut, Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
« أَنْتُمْ
أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ ».
“Kalian lebih
faham dengan perkara dunia kalian.” (Riwaya Muslim
No. 6277)
Sehingga, logo
halal ini tetap kita jadikan sebagai sarana untuk memilih makanan halal.
Wallahu A’lam Bisshawab.
PENUTUP :
Di sini dapat kita simpulkan bahwa tulisan halal sangatlah penting
karena di dalam hukum islam memakan makan haram sangatlah di larang. Di samping
itu mayoritas rakyat Indonesia beragama islam, jadi bagi bangsa Indonesia sangatlah
penting logo halal bagi rakyat Indonesia.
NAMA : LISNA ASWIDA
KELAS : 2 EB 19
NPM : 24210048
REFERENSI :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar