KEKERASAN TERHADAP ANAK JALANAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.
LATAR
BELAKANG
Anak-anak adalah masa
depan bukan hanya untuk dirinya sendiri dan keluarganya, tetapi juga untuk
komunitas, bangsa, dan negaranya. Anak-anak adalah masa depan kemanusiaan,
tanpa anak, tidak ada masa depan bagi siapapun. Tidak memperhatikan kualitas
hidup anak sama artinya dengan tidak memperhatikan kelangsungan hidup keluarga.
Semua pihak berkeyakinan
bahwa semua anak kelahirannya diinginkan, direncanakan dan, oleh karena itu,
masa depannya akan sangat diperdulikan. Indonesia menunjukkan kenyataan pahit,
sebagian dari anak-anak tersebut mengalami berbagai bentuk kekerasan,
diskriminasi, eksploitasi, dan penelantaran. Pada tahun 2003 sekretaris Jendral
PBB menugaskan perwakilannya di seluruh dunia untuk melakukan kajian mengenai
kekerasan terhadap anak. Hasil yang dilaporkan pada tahun 20062 menunjukkan
bahwa kekerasan terhadap anak adalah masalah global, di semua negara yang
terlibat, anak-anak mengalami berbagai bentuk kekerasan seperti hukuman fisik,
pemaksaan kerja atau eksploitasi dalam berbagai pekerjaan yang berbahaya
(pertambangan, sampah, seks komersial, perdagangan narkoba, dan lain- lain),
diskriminasi, perkawinan dini, dan pornograf.
Di
Indonesia pada tahun 2010 tercatat 40.000-70.000 anak telah menjadi korban
Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA). Mayoritas dari mereka dipaksa
bekerja dalam perdagangan seks. Praktik-praktik tersebut terutama berlangsung
di pusat prostitusi, tempat hiburan, karaoke, panti pijat, pusat perbelanjaan,
dan lain-lain. Di Semarang, Yogya dan Surabaya, terdapat 3.408 anak korban
pelacuran baik di lokalisasi, jalanan, tempat-tempat hiburan, dan panti pijat
(ILO-IPEC, 2010). Di Jawa Barat jumlah anak yang dilacurkan pada tahun 2010
sebanyak 9000 anak atau sekitar 30 persen dari total PSK 22.380 orang (Dinas
Sosial, 2010). Mengacu kepada data Koalisi Nasional Penghapusan ESKA, ada
150.000 anak Indonesia dilacurkan dan diperdagangkan untuk tujuan seksual. 5
Data tesebut menunjukkan bahwa semakin maraknya tindak pidana seksual komersial
anak.
Medan
tidak ketinggalan, pelacuran anak sudah menjadi fenomena yang menyedihkan sejak
lama, bahkan sudah terjadi sejak tahun 1970-an. Pelacuran anak di Medan banyak
terjadi di tempat-tempat billiard, taman bermain, di pusat-pusat perbelanjaan,
di cafe-cafe, di kos-kosan. Di Medan, jenis ESKA yang dialami anak adalah
pelacuran anak baik yang berstatus sebagai pelajar dan tidak berstatus sebagai
pelajar, dan perdagangan anak untuk tujuan seksual. Hal yang paling mengejutkan
adalah banyaknya anak-anak sekolah yang telah terjerumus dengan ESKA dan
terlibat transaksi seks dengan para Tebe atau tubang, sebutan bagi para
pelanggan mereka, dari 50 responden yang berhasil diwawancarai secara mendalam
41 diantaranya berstatus pelajar
dan
9 diantaranya berstatus bukan pelajar. Hubungan kuat lain antara perilaku
seksual remaja sekolah dengan dunia pendidikan adalah, alasan yang digunakan
para pelajar siswi yang melacurkan diri adalah alasan-alasan sekolah. Teman
yang diajak atau dilibatkan ke dunia Tubang juga masih mempunyai kedekatan
hubungan emosional yang diikat oleh kenyataan bersekolah di sekolah yang sama.
Modus operandi yang digunakan dalam menjebak anak-anak masuk ke dalam dunia
pelacuran, umumnya diajak oleh teman yang lebih dahulu masuk ke dunia ini, lalu
diperkenalkan dengan tamu atau tubang. Selanjutnya anak-anak mencari tamu
sendiri dengan cara ke diskotik, atau langsung menghubungi tamu tersebut.6
Pengaruh
perkembangan sosial mengharuskan setiap orang untuk menganalisis segala sesuatu
secara rasional dan mendasar, agar setiap masalah yang timbul dalam masyarakat
dapat dipecahkan sebaik-baiknya, demikian pula halnya anak-anak adalah masa
depan keluarga dan bangsa,itu sebabnya semua orang tua berharap anak-anaknya
bisa mengangkat harkat dan martabat keluarga dan keluar dari himpitan ekonomi.
Berdasarkan
hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan peneliti tepatnya pada Pusat Kajian
Perlindungan Anak bahwa banyak anak yang baru duduk di bangku SMA yang setiap
hari harusnya menghabiskan banyak waktu untuk belajar dan menikmati masa
remajanya justru lebih memilih menyisihkan waktunya untuk mencari uang saku,
dengan berbekal lipstic, bedak, dan kondom serta tubuh yang molek menjadi aset
panting bagi anak remaja yang berkomitmen untuk mendapat uang demi materi
semata.
Anak-anak
yang memiliki orangtua sekalipun dapat diperjualbelikan dengan mudahnya sebagai
PSK, hal ini menjadi dilema bagi siapa saja khususnya orangtua. Begitu pula pembangunan nasional yang telah
memanjakan aspek ekonomi telah menimbulkan dampak negatif, yang paling utama
adalah munculnya sifat materialis dan individualis, hal inilah yang menjadi
tanggung jawab pemerintah dan semua masyarakat. Secara formal, kita mengaku
bangsa yang bermoral yaitu moral Pancasila. Orang ramai-ramai memeriahkan
slogan Pancasila, namun kenyatannya pada waktu yang sama Pancasila dilecehkan
begitu saja.Bangsa ini tidak dapat maju dengan bermodalkan mental dan jiwa
generasi yang hanya dihantui dengan keinginan dan kepuasan materi yang sesaat.7
Mental generasi bangsa yang semakin memburuk menimbulkan akibat yang sangat
meluas dan mencolok terutama dalam hal terjadinya pengeksploitasian anak secara
seks komersial. Seiring bergantinya kepemimpinan presiden dan dengan perjalanan
pembangunan yang selama lebih dari setengah abad pembangunan nasional telah
membuahkan hasil yang cukup spektakuler, terutama dibidang ekonomi. Indonesia
bahkan kini disebut-sebut sebagai calon kuat “macan asia” mendatang.
2.
TUJUAN
·
Mengetahui latar
belakang munculnya anak jalanan.
·
Mengetahui
faktor-faktor apa saja yang menyebabkan fenomena munculnya anak jalanan.
·
Mengetahui
alternatif model penanganannya, khususnya di wilayah JABODETABEK yang berbasis
Keluarga.
BAB II
PEMBAHASAN
Kekerasan sudah menjadi bagian
kehidupan yang tidak terpisahkan yang dialami oleh setiap anak jalanan baik
secara langsung maupun tidak langsung. Mulai dari bangun tidur sampai tidur
kembali kekerasan selalu menyertai mereka. Inilah yang disebut dengan teori
spiral kekerasan yang dikemukakan oleh Dom Helder Camara. Yang menjelaskan
tentang tiga lapisan kekerasan. Pertama, kekerasan ketidakadilan akibat egoisme
penguasa dan kelompok. Kedua, perjuangan keadilan lewat kekerasan. Ketiga,
kekerasan dari tindakan represi pemerintah.
Pada lapisan pertama ini
anak-anak jalanan selalu tidak dihargai oleh negara apalagimendapatkan keadilan
yang setara dengan anak-anak lainnya. Mereka selalu dianggap sampah masyarakat
yang tidak berguna sehingga harus diperlakukan secara kasar dan tidak manusiawi.
Atas nama keindahan dan ketertiban kota sering sekali anak jalanan menjadi
tumbal atau objek kriminalisasi oleh aparatur negara yang dilegitimasi oleh
pengusa melalui berbagai peraturan.
Egoisme Inilah yang memicu
munculnya lapisan kedua di mana anak-anak jalanan melakukan perjuangan
keadilan. Biasanya korban kekerasan bisa didorong untuk melakukan kekerasan.
Sasaran kekerasan berupa simbol-simbol penguasa dan lain sebagainya. Lahirlah
beragam demo atau unjuk rasa yang kadang anarki. Demo itu tak bisa dibiarkan
begitu saja. Atas dalih stabilitas nasional, represi pemerintah berupaya
memadamkan demo. Represi itu bermuatan kekerasan. Begitulah seterusnya di mana
kekerasan akhirnya menjadi siklus dari sebuah ritme kehidupan anak jalanan.
Selain itu, kurangnya kepedulian
dan sensitifitas negara terhadap permasalahan anak-anak jalanan telah
menyebabkan berlakunya hukum rimba di tengah komunitas mereka. Di mana yang
kuat yang berkuasa dan berhak melakukan kekerasan maupun eksploitasi terhadap
mereka.
1) SIFAT
PSIKOLOGI ANAK JALANAN
Anak
jalanan menggunakan tubuhnya sendiri sebagai sarana. untuk ekspresi diri
sekaligus sub-versi. Pada tingkat permukaan ditunjukkan perbedaan-perbedaan
oleh mereka sekaligus menegaskan pertentangan dengan negara dan masyarakat
sekitarnya (lihat Hebdige, 1979). Tubuh dijadikan sumber produksi dan aktivitas
komunikasi dan menjadi lokasi pengetahuan yang krusial bagi komunitas dan hal
ini membantu terjadinya produksi makna bagi kelompoknya. Melalui pencarian dan
tingkah laku yang berbeda itu secara sengaja anak jalanan menolak dan
mengejutkan kultur dominannya dengan mensub-versi nilai-nilai utamanya.
Ketika
mulai tumbuh lebih besar, menampilkan nilai-nilai kejantanan merupakan aspek
yang vital bagi anak-anak jalanan. Mereka secara teratur mulai berpartisipasi
menyusun konstruksi kejantanan dengan mendiskusikan berbagai peran yang
dilakukan oleh anak lain serta mengomentari penampilarmya. Meski secara sosial
mereka dikategorikan sebagai anak (kecil), hampir semuanya mengadopsi bentuk-bentuk
kedewasaan sebagai tanda pern ban gkanangan dari harapan-harapan yang
ditentukan oleh masyarakat. Mereka memainkan peran yang selama ini dijalankan
oleh kaum dewasa yang ada di sekitarnya, menenggak minuman keras, ngepil, judi
serta menggemari free sex. Kebiasaan-kebiasaan yang dianggap tidak cocpk untuk
dilakukan oleh anak justru dianggap mampu membuat mereka merasa tumbuh dewasa
dan menjadi jantan.
Judi,
misalnya, merupakan permainan yang populer, meski dianggap ilegal dan dimainkan
di tempat-lempat tersembunyi. Rata-rata mereka mengaku menikmati permainan judi
karena nielibatkan resiko dalam pertaruhan, ketrampilan serta konsentrasi dan
bila memenangkan permainan, ada rasa bangga menempati posisi puncak dari hasil
permainan. Selain itujuga mendapatkan uang yang relatif banyak.
Seorang
dewasa yang sering memperhatikan dan bergaul dengan anak-anak jalanan
mengatakan bahwa jika dilarang untuk melakukan tindakan tertentu, maka
anak-anak jalanan itu seperti disuruh. Apa pun akan dilakukan untuk menentangnya.
Katanya, itu bagian dari indentitas pembangkangan. Atau dalam kata lain menolak
dianggap (anak) kecil terus.
A. Faktor
Penyebab Lahirnya Anak Jalanan
Ada
Penyebab Masalah Anak Jalanan:
1)
Tingkat mikro, yaitu faktor yang berhubungan dengan anak dan keluarganya.
2)
Tingkat messo, yaitu faktor yang terjadi di masyarakat.
3)
Tingkat makro, yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur masyarakat.
Pada
tingkat mikro, sebab yang dapat diidentifikasi dari anak dan keluarga saling
berkaitan, tetapi dapat juga berdiri sendiri, yaitu :
a) Lari
dari keluarga, disuruh bekerja (yang masih sekolah / putus sekolah),
berpetualang, bermain-main / diajak teman.
b) Penyebab
dari keluarga; terlantar, ketidakmampuan orang tua menyediakan kebutuhan dasar,
ditolak orang tua, salah perawatan / kekerasan di rumah, kesulitan berhubungan
dengan keluarga, berpisah dengan orang tua, sikap-sikap yang salah terhadap
anak, keterbatasan merawat anak yang berakibat anak menghadapi masalah fisik,
psikologis, dan social.
Pada
tingkat messo, sebab yang dapat diidentifikasi yaitu:
a) Pada
masyarakat miskin anak adalah asset untuk membantu peningkatan ekonomi
keluarga.
b) Pada
masyarakat lain yaitu urbanisasi menjadi kebiasaan dan anak-anaknya mengikuti.
c) Pada
masyarakat miskin anak adalah asset untuk membantu peningkatan ekonomi
keluarga.
Penolakan
masyarakat dan anggapan anak jalanan selalu melakukan tindakan tidakterpuji.
Pada
tingkat struktur masyarakat, penyebab yang dapat diidentifikasi adalah faktor :
§
Ekonomi, adanya peluang pekerjaan sector
informal yang tidak terlalu membutuhkan modal dan keahlian.
§
Pendidikan, biaya sekolah yang tinggi, perilaku
gurur yang diskriminatif.
§
Belum seragamnya unsur pemerintah memandang anak
jalanan, sebagian berpandangan anak jalanan merupakan kelompok yang memerlukan
perawatan, (pendekatan kesejahteraan) dan sebagian yang lain memandang anak
jalanan sebagai pembuat masalah (pendekatan keamanan).
Soeparman
(2000; 7) menyatakan bahwa penyebab anak turun ke jalan, yaitu:
·
Fungsi keluarga yang tidak berjaian;
·
Adanya penolakan dari masyarakat;
·
Keengganan anak untuk pelang ke rumah karena
lebih senang di jalanan;
·
Tekanan kekerasan hidup di jalanan, sehingga
mereka perlu cara supaya hidup lebih aman di jalanan;
·
Peluang
pekerjaan sector informal terus meningkat juga melibatkan partisipasi anak;
·
Keberanian anak untuk hidup di jalanan dan
terpisah dari orang tua;
·
Tekanan di jalanan masih lebih baik dibandingkan
dengan di rumah, karena di jalanan masih mernberikan kebebasan kepada anak;
·
Kompensasi karena prustasi dengan kondisi
masyarakat secara umum dan pelecehan yang diterima.
2)
KAITAN
DINAMIKA KOTA DAN ANAK JALANAN
Anak
jalanan merupakan fenomena perkotaan yang kompleks dan terus meningkat
kuantitas dan kualitasnya. Fenomena permasalahan tersebut disebabkan berbagai
faktor terkait seperti peradigma pembangunan yang sentralistik ditambah dengan
nuansa reformasi serta mencuatnya konsep HAM, gaya hidup individualist
materialisiik, konsumeristik serta kebijakan pemerintah yang tidak saling
sinergi dan tidak berkoodinasi antar departemen.
Lingkungan
perkotaan yang kumuh juga membuat sebagian anak lari ke jalan. Merebaknya anak
jalanan juga diakibatkan oleh kegagalan sistem pendidikan yang cenderung
kapitalislik, tidak banyak memberikan kesempatan kepada masyarakat miskin dan
marjinal. Memang, kehadiran anak jalanan tidak bisa dilepaskan dari keberadaan
kota-kota besar. Anak jalanan merupakan fenomena kota besar di mana saja
Semakin cepat perkembangan sebuah kota semakin cepat pula peningkatan jumlah
anak jalanan.
Kaitan
fenomena anak jalanan dengan perkotaan adalah pada dinamika kota Negara Dunia
Ketiga, yaitu proses migrasi dan urbanisasi. Napoleon Hillper mendefinisikan,
pekerja migran adalah orang yang bermigrasi dari wilayah kelahirannya ke tempat
lain dan kemudian bekerja di tempat yang baru tersebut dalam jangka waktu
relatif menetap. Pekerja migran mencakup sedikitnya dua tipe: pekerja migran
internal dan pekerja migran internasional. Pekerja migran internal berkaitan
dengan urbanisasi, sedangkan pekerja migran internasional tidak dapat
dipisahkan dari globalisasi.
Pekerja
migran internal (dalam negeri) adalah orang yang bermigrasi dari tempat asalnya
untuk bekerja di tempat lain yang masih termasuk dalam wilayah Indonesia.
Karena perpindahan penduduk umumnya dari desa ke kota (rural-to-urban
migration), maka pekerja migran internal seringkali diidentikan dengan "orang
desa yang bekerja di kota." Urbanisasi adalah ''proses pengkotaan"
atau proses perubahan suatu desa menjadi kota. Secara nasional, urbanisasi bisa
dilihat dari proporsi penduduk yang tinggal di perkotaan dan proporsi orang
yang bekerja di sektor non-pertanian. Sebagai contoh, pada tahun 1998, sebesar
31,5 persen penduduk Indonesia tinggal di perkotaan dan sebanyak 49,2 persen
bekerja di sektor non-pertanian (Suharto, 2002:149).
Pertumbuhan
penduduk yang besar, persebaran penduduk yang tidak merata antar daerah, dan
rendahnya daya scrap industri di perkotaan, menyebabkan urbanisasi di Indonesia
termasuk dalam kategori "urbanisasi tanpa industrialisasi",
"urbanisasi berlebih" atau "inflasi perkotaan" .
(Potter
dan Lloyd-Evans, 1998; Suharto, 2002). Fenomena ini menunjuk pada keadaan
dimana pertumbuhan kota berjalan cepat namun tanpa diimbangi dengan kesempatan
kerja yang memadai, khususnya di sektor industri dan jasa. Akibatnya, para
migran yang berbondong-bondong meninggalkan desanya dan tanpa bekal keahlian
yang memadai tidak mampu terserap oleh sektor "modern" perkotaan.
Mereka kemudian bekerja di sektor informal perkotaan yang umumnya ditandai oleh
produktivitas rendah, upah rendah, kondisi kerja buruk, dan tanpa jaminan
sosial.
Sejatinya,
persoalan utama pekerja migran internal terkait erat dengan kondisi sektor
informal perkotaan yang kerap disebut sebagai "underground economy"
itu. Sebagai contoh, mereka yang, bekerja sebagai pedagang kakilima kerap
menghadapi permasalahan seperti penggusuran, permodalan yang kecil, konflik
dengan penduduk setempat, konflik dengan pengguna lahan publik lain (pejalan
kaki, sopir angkutan kota, pemilik mobif pribadi, pemilik toko), dan konflik
dengan petugas keamanan.
Persoalan
lain yang cukup serius mengenai pekerja migran ini adalah menyangkut fenomena
"pekerja migian anak-anak" yang meliputi anak jalanan, pekerja anak,
dan anak perempuan yang dilacurkan (AYLA). Dalam laporannya, A Country Strategy
for Children and Women, 2001-2005, pemerintah Indonesia dan UN1CEF memperkirakan
jumlah pekerja anak sebesar 1,8 juta jiwa dan AYLA sebanyak 40.000-70.000 anak
(Suharto, 20003). Selain bekerja di sektor yang berbahaya, mereka memiliki upah
rendah, rawan eksploitasi dan perlakuan salah (abuse), serta tidak memiliki
akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan mobilitas sosial vertikal. Mereka
kemungkinan besar terjebak dalam "lingkaran kemiskinan" (vicious
circle of poverty).
Selain
itu, sepert; kritik Karl Marx, perputaran ekonomi kota yang kapitalistik justru
menyembunyikan inti proses sosial. Para pedagang yang berjualan di pasar hanya
melihat gerak-gerik komoditas dan uang di permukaan pasar dan tidak memaklumi
kegiatan-kegiatan yang melatarbelakanginya. Akhirnya, pedagang kecil semakin
terasing dan kehilangan pasar yang ujung-ujungnya memunculkan kemiskinan baru
perkotaan. Dari situsai kemiskinan in! muncullah PKL, gelandangan, pengemis,
anak jalanan, dan lain-lain sebagai upaya survival masyarakat urban yang
semakin kehilangan pilihan hidup. Dengan menjadi PKL, kaum urban mencoba untuk
berjalan dalam pergerakan ekonomi kota. Sketsa kemiskinan kota ini bukan
merupakan fenomena kota di Surabaya saja, melainkan di semua kota sebagai
konsekuensi dari ideologi pembangunanisme (teori rembesan ke bawah). Dalam
kerangka ideologi pembangunan itu, perputaran uang dalam lingkup kaum pinggiran
tidak diakui sebagai salah satu penggerak ekonomi kota. Itu karena asumsinya
adalah membuat kue-kue besar yang akan memperkuat ekonomi nasional dan sektor
informal dengan sendirinya akan mendapat jatah rembesannya sehingga
"pemasungan" ekonomi kecil (informal/ kaum pinggiran) menjadi
konsekuensi logisnya.
3) SOLUSI
YANG RELEVAN UNTUK MENGATASI MAKIN PESATNYA PERTUMBUHAN ANGKA KEBERADAAN ANAK
JALANAN
Sejauh
ini terdapat tiga model penanganan anak jalanan dengan pendekatan yang berbeda:
Community Based adalah model penanganan
yang berpusat di masyarakat dengan menitik beratkan pada fungsi-fungsi keluarga
dan potensi seluruh masyarakat. Tujuan akhirnya adalah anak tidak menjadi anak
jalanan / sekalipun dijalan, mereka tetap berada dilingkungan keluarga.
Kegiatannya biasanya meliputi: pelatihan peningkatan pendapatan keluarga,
penyuluhan dan bimbingan pengasuhan anak, dan kesempatan anak untuk memperoleh
pendidikan dan kegiatan waktu luang.
Street Based adalah kegiatan dijalanan
atau penjangkauan penanganan terhadap anak langsung dilakukan ditempat anak
tersebut sering berada, kegiatan ini berupa pendamingan terhadap anak agar
mendapatkan perlindungan dari orang yang berperan sebagai pengganti orang tuanya.
Centre Based adalah kegiatan di panti,
untuk anak-anak yang sudah utus dengan keluarganya. panti menjadi lembaga
pengganti keluarga untuk dan memenuhi kebutuhan anak seperti kesehatan,
pendidikan, keterampilan, waktu luang, makan tempat tinggal, pekerjaan dan
sebagainya.
Selther Based adalah model pendekatan
dengan menggunakan rumah singgah sebagai transit dari aktifitas sehari-hari
anak jalanan, rumah singgah umumnya sebagai sasaran antara bag! anak untuk
kembali diperkenalkan pada norma-norma keluarga.
Menurut
Soeparman (2000; 2) program penanggulangan anaka jalanan harus bersifat lintas
sektoral, terpadu, komprehensif dan holistik, hal tersebut mencakup : a.
Program penegakan hukum dengan pelaku utama yaitu jajaran pemerintah daerah dan
aparat penegak hukum.
4) ASPEK HUKUM BAGI ANAK JALANAN
Ø Perlindungan Hukum
Bahwa yang dimaksud dengan perlindungan hukum terhadap hak-hak
anak di dalam penelitian ini adalah hak yang timbul pada anak ( anak jalanan )
untuk mendapatkan perlindungan ( protection rights ) yang hakiki dalam setiap
kehidupannya dari Negara, dengan demikian hak tersebut menimbulkan suatu
kewajiban yang harus dipenuhi oleh Negara melalui perangkatnya yang bernama
hukum agar tercipta tata kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang
dapat melindungi hak-hak asasi dari anak. Mengapa demikian, karena peneliti
ingin terkotak dalam pemikiran konvensional bahwa perlindungan hukum indentik
dengan pernyataan bagaimana hukum itu mampu melindungi dan mengatur
kepentingan-kepentingan dalam masyarakat yang sangat beragam.
Bahkan sesuai dengan yang dirumuskan Departemen Sosial Indonesia
dalam petunjuk Teknis Pelaksanaan Penyantunan dan Pengentasan Anak Melalui
Panti Asuhan, maka fungsi dari perlindungan hukum adalah untuk menghindarkan
anak dari keterlambatan, perlalakuan kejam, dan eksploitasi oleh orang tua.
Fungsi ini juga diserahkan kepada keluarga dalam meningkatkan kemampuan
keluarga untuk mengasuh anak dan melindungi keluarga dari kemungkinan
perpisahan.
Hal di atas harus dibedakan dengan istilah perlindungan anak,
karena hal ini tidak menunjukkan dengan apa perlindungan itu akan ditegakkan.
Sebagaimana pengertian perlindungan anak itu sendiri yang tersebut di bawah ini
:
1. Perlindungan anak adalah segala
daya dan upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga
pemerintahan dan swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, pengadaan, dan
pemenuhan kesejahteraan fisik, mental, dan sosial anak dan remaja yang sesuai
dengan kepentingan dan hak asasinya.
2. Perlindungan anak adalah segala
daya upaya bersama yang dilakukan secara sadar oleh perorangan, keluarga,
masyarakat, badan-badan pemerintah dan swasta untuk pengamanan, pengadaan, dan
pemenuhan kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah anak berusia 0-21 tahun, tidak
dan belum pernah menikah, sesuai dengan hak asasi dan kepentingannya agar dapat
mengembangkan dirinya seoptimal mungkin.
Ø Perlindungan Hukum Anak dalam
Perspektif Dokumen Internasional
Upaya perlindungan hukum bagi anak dapat di artikan sebagai upaya
perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak ( fundamental
rights and freedoms of children ) serta berbagai kepentingan yang berhubungan
dengan kesejahteraan anak. Jadi masalah perlindungan hukum bagi anak mencakup
ruang lingkup yang sangat luas.* ( Barda Nawawi Arief, “Beberapa Aspek
Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana”, Citra Aditya Bakti Bandung.
Tahun 1998 Hal. 153. ).
Ruang lingkup yang cukup luas dari masalah anak, terlihat dari
cukup banyaknya dokumen/instrument internasional yang berkaitan dengan masalah
anak ini ( diantarannya adalah masalah anak jalanan ), antara lain adalah
sebagai berikut :
1.
Deklarai
Jenewa tentang Hak-hak Anak Tahun 1924 yang kemudian dikukuhkan dalam Resolsusi
Majelis Umum PBB Nomor 1389 (XIV) tanggal 20 November 1959 mengenai “Declaration on the Right of Child”
2.
Resolusi
MU-PBB 40/33 tanggal 29 November 1985 mengenai “United Nation Standard Minimum Rules
for the Administration of Juvenile Justice” (The
Beijing Rules).
3.
Resolusi
MU-PBB 40/35 tanggal 29 November 1985 mengenai “the prevention of juvenile
delinquency”
4.
Resolusi
MU-PBB 41/85 tanggal 3 Desember 1986 mengenai ”Declaration on Social and Legal
Principles relating to the Protection and Welfare of Children, with Special
Reference to Foster Placement and Adoption Nationally and International.”
5.
Resolusi
43/121 tanggal 8 Desember 1988 mengenai “the use of children in the illicit trefic in narcotic drugs”
6.
Resolusi
MU-PBB 44/25 tanggal 20 November 1989 mengenai “Convention on The Rights of the
Child”
7.
Resolusi
ECOSOC 1990/33 tanggal 24 Mei 1990 mengenai “The Prevention of Drug Consumption among young Persons”
8.
Resolusi
MU-PBB 45/112 tanggal 14 Desember 1990 mengenai “United Nation Guidelines for the
Prevention of Juvenile Delinquency” (The Riyadh Guidelines)
9.
Resolusi
MU-PBB 45/113 tanggal 14 Desember 1990 mengenai “United Nation Rules for the
Protectionof Juvenile Deprived of The Their Liberty”
10.
Resolusi
MU-PBB 45/115 tanggal 14 Desember 1990 mengenai “The Instrument Use of Children in
Criminal Activities”
11.
Resolusi
Komisi HAM PBB 1993/80 tanggal 10 maret 1993 mengenai “The Application of International
Standards concerning the Human Rights of detained juveniles”
12.
Resolusi
Komisi HAM 1994/90 tanggal 9 maret 1994 mengenai “The need to adopt effective
international measures for the prevention and cradication of the sale of
children, child prostitution and child phornograpy”
13.
Resolusi
Komisi HAM 1994/93 tanggal 9 maret 1994 mengenai “The Plight of Street Children”
14.
Resolusi
Komisi HAM 1994/93 tanggal 9 maret 1994 mengenai “The effevts of armed conflicts on
children’s lives”
15.
Kongres
PBB IX tahun 1995 mengenai “The Prevention
of Crime and The Treatment of Offenders”, diajukan dua draft
resolution mengenai :
a. Application of United Natiobs
Standards Norms in Juvenile Justice (Dokumen A/CONF.169/L.S)
b. Elimination of Violence Againts
Children (Dokumen
A/CONF.169/L.11)* (Barda Nawawi Arief. Ibid Hal 457)
Jadi perlindungan hukum bagi
anak tidak hanya perlindungan hukum dalam proses peradilan, tetapi mencakup
spectrum yang sangat luas.
Ø INSTRUMEN HUKUM
Instrumen hukum yang mengatur perlindungan hak-hak anak diatur
dalam Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak ( Convention on The Rights of The Child ) tahun 1989* (Convention on The Right of The Child,
UNICEF, 1990), telah di ratifikasi oleh lebih 191 negara. Indonesia sebagai
anggota PBB telah meratifikasi dengan Kepres Nomor 36 tahun 1990. Dengan
demikian Konvensi PBB tentang Hak Anak tersebut telah menjadi hukum Indonesia
dan mengikat seluruh warga Negara Indonesia.
Konvensi Hak-hak anak merupakan instrument hukum yang berisi
rumusan prinsip-prinsip universal dan ketentuan norma hukum mengenai anak.
Konvensi hak anak merupakan sebuah perjanjian internasional mengenai hak asasi
manusia yang memasukan masing-masing hak-hak sipil, hak politik, hak ekonomi,
hak sosial dan hak budaya. Secara garis besar Konvensi Hak Anak dapat
dikategorikan sebagai berikut, pertama penegasan hak-hak anak, kedua
perlindungan anak oleh negara, ketiga peran serta berbagai pihak (pemerintah,
masyarakat dan swasta) dalam menjamin penghormatan terhadap hak-hak anak.
Ketentuan hukum mengenai hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak
dapat dikelompokan menjadi:
1.
Hak
terhadap kelangsungan hidup (survival rights)
Hak kelangsungan hidup berupa hak-hak anak untuk melestarikan dan
mempertahankan hidup dan hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan
perawatan yang sebaik-baiknya. Konsekwensinya menurut Konvensi Hak Anak negara
harus menjamin kelangsungan hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak
(Pasal 6). Disamping itu negara berkewajiban untuk menjamin hak atas tarap
kesehatan tertinggi yang bisa dijangkau, dan melakukan pelayanan kesehatan dan
pengobatan, khususnya perawatan kesehatan primer. (Pasal 24).
Implementasinya dari Pasal 24, negara berkewajiban untuk melaksanakan
program-program (1) melaksanakan upaya penurunan angka kematian bayi dan anak,
(2) menyediakan pelayanan kesehatan yang diperlukan, (3) memberantas penyakit
dan kekurangan gizi, (4) menyediakan pelayanan kesehatan sebelum dan sesudah
melahirkan bagi ibu, (5) memperoleh imformasi dan akses pada pendidikan dan
mendapat dukungan pada pengetahuan dasar tentang kesehatan dan gizi, (6)
mengembangkan perawatan kesehatan pencegahan, bimbingan bagi orang tua, serta
penyuluhan keluarga berencana, dan, (7) mengambil tindakan untuk menghilangkan
praktik tradisional yang berprasangka buruk terhadap pelayanan kesehatan.
Terkait dengan itu, hak anak akan kelangsungan hidup dapat berupa
(1) hak anak untuk mendapatkan nama dan kewarganegaraan semenjak dilahirkan
(Pasal 7), (2) hak untuk memperoleh perlindungan dan memulihkan kembali aspek
dasar jati diri anak (nama, kewargnegaraan dn ikatan keluarga) (Pasal 8), (3)
hak anak untuk hidup bersama (Pasal 9), dan hak anak untuk memperoleh
perlindungan dari segala bentuk salah perlakuan (abuse) yang dilakukan orang
tua atau orang lain yang bertangung jawab atas pengasuhan (Pasal 19), (4) hak
untuk mmemperoleh perlindungan khusus bagi bagi anak- anak yang kehilangan
lingkungan keluarganya dan menjamin pengusahaan keluarga atau penempatan
institusional yang sesuai dengan mempertimbangkan latar budaya anak (Pasal 20),
(5) adopsi anak hanya dibolehkan dan dilakukan demi kepentingan terbaik anak,
dengan segala perlindungan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang (Pasal
21), (6) hak-hak anak penyandang cacat (disabled) untuk memperoleh pengasuhan,
pendidikan dan latihan khusus yang dirancang untuk membantu mereka demi
mencapai tingkat kepercayaan diri yang tinggi (Pasal 23), (7) hak anak
menikmati standar kehidupan yang memadai dan hak atas pendidikan (Pasal 27 dan
28).
2.
Hak
terhadap perlindungan (protection rights)
Hak perlindungan yaitu perlindungan anak dari diskriminasi, tindak
kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga, dan bagi
anak pengungsi. Hak perlindungan dari diskriminasi, termasuk (1) perlindungan
anak penyandang cacat untuk memperoleh pendidikan, perwatan dan latihan khusus,
dan (2) hak anak dari kelompok masyarakat minoritas dan penduduk asli dalam
kehidupan masyarakat negara.
Perlindungan dari ekploitasi, meliputi (1) perlindungan dari
gangguan kehidupan pribadi, (2) perlindungan dari keterlibatan dalam pekerjaan
yang mengancam kesehatan, pendidikan dan perkembangan anak, (3) perlindungan
dari penyalahgunaan obat bius dan narkoba, perlindungan dari upaya penganiayaan
seksual, prostitusi, dan pornografi, (4) perlindungan upaya penjualan,
penyelundupan dan penculikan anak, dan (5) perlindungan dari proses hukum bagi
anak yang didakwa atau diputus telah melakukan pelanggaran hukum.
3.
Hak
untuk Tumbuh Berkembang (development rights)
Hak tumbuh berkembang meliputi segala bentuk pendidikan (formal
maupun non formal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi
perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak. Hak anak atas
pendidikan diatur pada Pasal 28 Konvensi Hak Anak menyebutkan, (1) negara
menjamin kewajiban pendidikan dasar dan menyediakan secara cuma-cuma, (2)
mendorong pengembangan macam-macam bentuk pendidikan dan mudah dijangkau oleh
setiap anak, (3) membuat imformasi dan bimbingan pendidikan dan ketrampIlan
bagi anak, dan (4) mengambil langkah-langkah untuk mendorong kehadirannya
secara teratur di sekolah dan pengurangan angka putus sekolah.
Terkait dengan itu, juga meliputi (1) hak untuk memperoleh
informasi, (2) hak untuk bermain dan rekreasi, (3) hak untuk berpartisipasi
dalam kegiatan budaya, (4) hak untuk kebebasan berpikir dan beragama, (5) hak
untuk mengembangkan kepribadian,(6) hak untuk memperoleh identitas, (7) hak
untuk didengar pendapatnya, dan (8) hak untuk memperoleh pengembangan kesehatan
dan fisik.
4.
Hak
untuk Berpartisipasi (participation rights)
Hak untuk berpartisipasi yaitu hak untuk menyatakan pendapat dalam
segala hal yang mempengaruhi anak. Hak yang terkait dengan itu meliputi (1) hak
untuk berpendapat dan memperoleh pertimbangan atas pendapatnya, (2) hak untuk
mendapat dan mengetahui informasi serta untuk mengekpresikan, (3) hak untuk
berserikat menjalin hubungan untuk bergabung, dan (4) hak untuk memperoleh
imformasi yang layak dan terlindung dari imformasi yang tidak sehat.
Terhadap anak yang melakukan perbuatan pidana, penangkapan dan
penahanan anak harus sesuai dengan hukum yang ada, yang digunakan hanya sebagai
upaya terakhir. Anak yang
dicabut kebebasannya harus memperoleh akses bantuan hukum, dan hak
melawan keabsahan pencabutan kebebasan.
Ø KEWAJIBAN NEGARA PERATIFIKASI
Negara peratifikasi seperti Indonesia juga berkewajiban
mengusahakan prosedur pelaporan dan pembentukan lembaga yang mendukung hak-hak
anak. Adapun kewajiban Negara peratifikasi selain mengimplementasikan hak-hak
anak tersebut adalah :
a. Membentuk sebuah komisi yang
disebut dengan Komisi Nasional Hak Anak (pasal 43)
b. Membuat laporan nasional
(country report) kepada UNICEF dalam rangka monitoring pelaksanaan Konvensi Hak
Anak. Adapun kewajiban dimaksud dilaksanakan pada saat dua tahun setelah Negara
peserta meratifikasi Konvensi Hak Anak, dan laporan rutin setelah itu dalam
periode lima tahun sekali (pasal 44)
Laporan yang dimaksud adalah mengenai factor-faktor dan
kesulitan-kesulitan yang mempengaruhi tingkat pemenuhan kewajiban-kewajiban
Negara peserta. Selain itu laporan dimaksud memuat informasi yang memadai untuk
memberikan pemahaman menyeluruh mengenai kemajuan dalam implementasi Konvensi
Hak Anak. Jadi dalam hal kewajiban untuk membuat laporan ini, Pemerintah
Republik Indonesia telah mengusahakan dan mengirimkan laporan pertama pada
tahun 1992 yakni (dua) tahun setelah meratifikasi Konvensi Hak Anak dan
kemudian kewajiban untuk membuat laporan limat tahun berikutnya pada tahun
1997.
v PENGENTASAN ANAK JALANAN
Definisi Pengentasan Anak Jalanan
Pengentasan anak jalanan adalah usaha untuk memberikan bimbingan
dan pembinaan baik fisik, mental dan social kepada anak agar dapat tumbuh dan
berkembang secara wajar. Usaha pengentasan ini dapat dilakukan oleh Panti
Asuhan, asuhan keluarga atau pengangkatan anak. ( Pasal 6 Ayat 2 PP.No.2 Tahun
1998 ).
Pengentasan anak ditujukan untuk mengembalikan dan menanamkan
fungsi social anak. Fungsi ini mencakup suatu kombinasi dari berbagai keahlian
teknik dan fasilitas-fasilitas khusus yang ditujukan guna tercapainya
pemeliharaan fisik, penyesuaian social dan psikologis, penyuluhan dan bimbingan
pribadi maupun kerja, latihan kerja serta penempatannya.
v Landasan Hukum mengenai Usaha
Kesejahteraan Anak
Sebagai salah satu upaya mencegah dan mengentaskan anak jalanan
dari eksploitasi ekonomi adalah dengan usaha mensejahterakan anak jalanan.
Untuk itu berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak Yang Mempunyai Masalah, terutama pada BAB
II Pasal 2 menentukan bahwa :
1) Usaha kesejahteraan anak
pertama-tama dan terutama menjadi tanggung jawab orang tua.
2) Pemerintah dan atau masyarakat
melaksanakan usaha kesejahteraan anak dengan tujuan membantu mewujudkan kesejahteraan
anak.
3) Pemerintah mendorong,
membimbing, membina masyarakat untuk berperan serta melaksanakan usaha
kesejahteraan anak.
Usaha kesejahteraan anak adalah usaha kesejahteraan social yang
ditunjukan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak, terutama terpenuhinya
kebutuhan pokok anak (Pasal 1 angka 1 huruf b UU. No.4 Tahun 1979). Pemerintah
dalam hal ini memberikan pengarahan, bimbingan, bantuan dan pengawasan terhadap
usaha kesejahteraan anak yang di lakukan oleh masyarakat.
Usaha-usaha kesejahteraan anak sesuai PP No.2 Tahun 1988, adalah
suatu proses refungsionalisasi dan pengembangan anak, agar dapat tumbuh dan
berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun social. Usaha
kesejahteraan anak yang dilakukan pemerintah, masyarakat ditujukan terutama
kepada anak yang mempunyai masalah antara lain anak yang tidak mempunyai orang
tua dan terlantar, anak terlantar, anak yang tidak mampu, anak yang mengalami
masalah kelakuan, (kategori tersebut terpenuhi dalam kehidupan anak-anak
jalanan) dari anak cacat. Usaha ini dimaksud memberikan pemeliharaan,
perlindungan, asuhan, perawatan dan pemulihan kepada anak yang mempunyai
masalah khususnya kepada anak-anak jalanan.
Pembinaan, pengembangan, pencegahan dan rehabilitasi dilaksanakan
dalam bentuk asuhan, bantuan dan pelayanan khusus. Asuhan ditujukan kepada ana
yang mempunyai masalah antara lain : anak yang tidak mempunyai orang tua dan
terlantar, anak terlantar, dan anak yang mengalami masalah kelakuan terutama
kepada anak-anak jalanan.
Asuhan itu sesuai dengan Pasal 6 (2) PP No.2 Tahun 1988 diberikan
antara lain dalam bentuk :
1. Penyuluhan/bimbingan dan bentuk
lainnya yang diperlukan
2. Penyantunan dan pengentasan
anak
3. Pembinaan/peningkatan derajat
social anak
4. Pemberian/peningkatan
kesempatan belajar
5. Pembinaan/peningkatan
keterampilan
Pelaksanaan asuhan tersebut dilakukan baik di dalam maupun di luar
panti social, yang lembaga atau kesatuan kerja yang merupakan prasarana dan
sarana yang memberikan pelayanan sosial berdasarkan profesi pekerja sosial maupun
luar panti (Pasal 1 ayat 6 PP No.2 Tahun 1988).
Sementara bantuan yang ditujukan kepada anak yang tidak mampu
berupa materi dalam rangka usaha pemenuhan kebutuhan pokok anak, bantuan jasa
dalam rangka usaha pembinaan dan pengembangan untuk mengarahkan bakat dan
keterampilan, bantuan fasilitas, diberikan dalam rangka usaha mengatasi
hambatan-hambatan sosial (pasal 7). Bantuan ini dapat diberikan secara langsung
kepada anak melalui orang tua/wali, yang tata cara pemberian dan penanganannya
di atur oleh Menteri Sosial. Seperti salah satu contohnya adalah Peraturan
Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1981 tentang Organisasi Sosial
Yang Dapat Menyelenggarakan Usaha Penyantunan Anak Terlantar.
Kemudian mengenai Pelayanan khusus sebagai upaya yang dilaksanakan
untuk memulihkan dan mengembangkan anak cacat agar dapat tumbuh dan berkembang
dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial (Pasal 1 ayat 5 PP No.2
Tahun 1988) meliputi : bimbingan, pemenuhan kebutuhan pokok, pemberian
keterampilan, pendidikan, pemberian bantuan/fasilitas dan pembinaan lanjutan.
v Landasan Hukum : Tanggung Jawab
Orang Tua Terhadap Kesejahteraan Anak
Tanggung jawab orang tua terhadap kesejahteraan anak meliputi
kesehatan, pendidikan, pembinaan atau pembetukan kepribadian. *(Arief Gosita,
“Masalah Perlindungan Anak”, Liberty Yogyakarta 1991. Hal.21). Bab III
Undang-undangn No.4 Tahun 1979 mengatur tentang tanggung jawab orang tua
terhadap kesejahteraan anak. Dimana dikatakan pertama-tama yang bertanggung
jawab atas kesejahteraan anak, adalah orang tua (Pasal 9). Orang tua yang
terbukti melalaikan tanggung jawabnya, yang mengakibatkan timbulnya hambatan
dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, dapat dicabut kuasa asuhanya sebagai
orang tua terhadap anak (Pasal 10 ayat 1). Apabila hal ini terjadi, maka di
tunjuk orang atau badan sebagai wali.
Pencabutan kuasa asuh ini tidak menghapuskan kewajiban orang tua
tersebut untuk membiayai sesuai kemampuan penghidupan, pemeliharaan dan
pendidikan anaknya. Pencabutan dan pengembalian kuasa asuh orang tua ini
ditetapkan dengan keputusan hakim. Jadi jelasnya pencabutan kuasa asuh itu
harus ditunjukan kepada pengadilan, demikian juga pengembaliannya. Bentuknya
adalah permohonan penetapan hakim. Untuk itu harus ada pihak yang mengajukan
permohonan misalnya salah seorang dari keluarga. Misalnya dalam keadaan orang
tua sudah bercerai pemohon boleh ayah atau ibu si anak, atau juga boleh
keluarga dalam garis lurus. Hal ini lah yang tadinya ingin di samping di dalam
Undang-undang Pengadilan Anak.
v Landasan Hukum : Peran Serta
Masyarakat dan Pengawasan
Menurut Pasal 12 PP No. 2 Tahun 1988, masyarakat diberikan
kesempatan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam melaksanakan usaha
kesejahteraan anak yang dapat di selenggarakan oleh badan sosial atau
perseorangan. Untuk itu pemerintah dapat memberikan bimbingan, konsultasi,
dorongan dan bantuan. Pemberian bimbingan dan konsultasi dimaksudkan agar
pelaksanaan usaha kesejahteraan anak oleh masyarakat sejarah dengan
kebijaksanaan pemerintah. Pemberian dorongan dan bantuan dimaksud untuk
memberikan dorongan agar masyarakat dapat lebih meningkatkan peran sertanya
dalam usaha mewujudkan kesejahteraan anak.
Sangat penting untuk menjadi perhatian apabila ternyata usaha
penyejahteraan anak sebagai salah satu upaya pengentasan anak jalanan dari
eksploitasi ternyata mengalami hambatan dalam implementasinya, maka pengwasa
terhadap usaha kesejahteraan anak yang dilakukan oleh Mentri sosial haruslah
bersifat responsive.
Andaikata anak-anak jalanan itu tidak dapat dikembalikan ke dalam
system sosial yang wajar (orang tua, panti asuhan, atau masyarakat normative
pada umumnya ) sebagaimana terjadi dalam banyak kasus, atau karena alasan lain
seperti kurangnya tempat penampungan untuk mereka, maka tidak ada cara lain
jikalau ingin tetap peduli kecuali dengan memperhatikan anak-anak jalanan itu
dalam keadaan mereka yang sebenarnya, atau senyatanya. Anak-anak jalanan perlu
tahu dunianya sendiri yang keras, peluang-peluang yang sempit dan
tantangan-tantangan yang berat, agar dapat mempertahankan hidupnya. Untuk itu
diperlukan Lembaga Swadaya Masyarakat yang mampu memberdayakan (empowering)
mereka. Tetapi upaya ini amat sulit, membutuhkan tenaga relawan yang banyak dan
tentu saja biaya. Tidak heran apabila mereka bergabung dan mungkin juga
menerima bantuan dari masyarakat luas yang peduli pada pemberdayaan ini. Hingga
pada akhirnya banyak LSM yang mendirikan sekolah jalanan (street educators).
Seperti yang terjadi di bawah ini :
1.
Di
Peru
UNICEF mendanai pendidikan jalanan yang telah dipelopori di
Amerika latin walaupun saai ini pendidikan anak jalanan telah berhasil ditiru
diseluruh dunia. Di Peru UNICEF mendanai pendidikan anak jalanan yang
dilaksanakan oleh lembaga nasional untuk kesejahteraan kelurga. 54 pendidik
telah melakukan kontak dengan anak-anak jalanan, membantu mereka kembali ke
sekolah, membantu dalam memperoleh perawatan kesehatan dan mendukung usaha
mengintegrasikan mereka dengan keluarga mereka. Sejauh ini mereka telah
berhasil mengintegrasikan kembali 1200 anak kedalam sekolah.
2.
Di
Philiphina
Organisasi-organisasi Non Pemerintah berpartisipasi dalam proyek
nasional pada anak jalanan. Pendidikan yang dikembangkan adalah pendidikan
alternative untuk anak-anak jalanan yang bekerja di jalanan dan di perkotaan.
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
·
Terlihat bahwa kehidupan kelurga sedang mengalami masa transisi dari kehidupan
keluarga besar menjadi keluarga inti, dari budaya tradisional pedesaan menjadi
budaya modern perkotaan. Karena itu, kehidupan mereka ini sangat rentan
terhadap setiap kondisi, perubahan dan pengaruh lingkungan yang terjadi. Selain
itu, pendapat mereka kurang dapat menopang secara keseluruhan kebutuhan
keluarga. Tentu faktor ini juga menjadi faktor penyebab percepatan perubahan
dalam kehidupan keluarga tersebut. Mungkin suatu saat mereka akan melakukan apa
saja untuk menghidupi keluarga karena tuntutan kebutuhan dan perubahan yang
terjadi.
·
Dalam pola asuh keluarga terhadap anak, pihak orang tua atau keluarga
mulai memberikan kebebasan yang lebih besar kepada anak. Jelas hal ini akan memberikan
akses interaksi sosial yang semakin luas terhadap anak untuk bergaul dengan
teman-temannya. Sesungguhnya akses ini akan memberikan peluang kepada anak
untuk mengembangkan kreativitas, kemandirian dan wawasan anak, bilamana dapat
diimbangi dengan kontrol keluarga yang baik. Namun, sebaliknya bila keluarga
tidak dapat mengontrolnya, tidak mustahil akan terjadi perilaku-perilaku yang
a-sosiaL terhadap anak. Karena itu, perlu dilakukan pemberdayaan-pemberdayaan
terhadap keluarga.
·
Terlihat adanya kesamaan persepsi antara orang tua dengan anak dalam melihat
beberapa variabel sikap dan perilaku sebagai perilaku nakal, seperti ; membolos
sekolah, melawan guru, mejeng di pertokoan, bergadang di jalanan, pulang larut
malam, tidak pulang ke rumah, berkelahi tawuran, minuman keras, narkotika, seks
bebas, mencuri, memeras, membajak atau merampok. Namun, beberapa variabel sikap
dan perilaku tidak dilihat sebagai perilaku nakal baik oleh anak maupun orang
tua itu sendiri, seperti : berbohong, merokok, terlambat sekolah, dan tidak mau
belajar. Pemandangan seperti ini akan menjadi titik masuk yang memberikan
peluang ke pada anak untuk menjadi nakal.
2.
SARAN
§ Pendampingan. Karena
perlakuan keluarga maupun lingkungan menyebabkan anak jalanan terkadang merasa bahwa mereka adalah
anak yang tersingkirkan dan tidak dikasihi,
olehnya kita dapat memulihkan percaya diri mereka. “Uang” kita dapat dialihkan
dengan waktu yang kita berikan untuk mendampingi mereka. Dengan sikap “Penerimaan
kita” tersebut dapat mengatasi “luka masa lalu” mereka.
§ Bantuan Pendidikan. Kita
dapat membantu mereka dalam pendampingan bimbingan belajar, memberikan
kesempatan mereka untuk sekolah lagi dengan Beasiswa, Bimbingan Uper (Ujian
Persamaan) untuk anak yang telah melewati batas usia sekolah. “Uang” kita dapat
kita konversi menjadi “Beasiswa” (memang pemerintah telah membebaskan uang SPP
untuk sekolah negeri, Namun hal tersebut digantikan dengan pungutan lainnya
bahkan lebih mahal dari pada uang SPP yang telah dihapuskan dengan mengatas
namakan “uang buku”, “uang kegiatan” dan lain-lainnya.
§ Bantuan Kesehatan. Dengan
latar belakang pendidikan yang rendah serta lingkungan yang tidak sehat mengakibatkan
mereka rentan dengan sakit penyakit. Pada kondisi sekarang mereka bukanlah
tidak memiliki uang untuk berobat namun kesadaran akan mahalnya kesehatan
sangat rendah dalam lingkungan mereka. Uang kita dapat kita rubah menjadi
penyuluhan kesehatan, pemeriksaan kesehatan untuk awareness, subsidi obat- obatan
serta subsidi perawatan kesehatan.
DARTAR PUSTAKA:
KELAS : 2 EB 19
1.
Lisna Aswida 24210048
2.
Nina Rahayu N 24210998
3.
Setiawati 26210486
4.
Trias Juwita 26210992
5.
Puji Rama 29210062
Tidak ada komentar:
Posting Komentar