YANG MENENTUKAN
KEHALALAN DARI ASPEK HUKUM
PENDAHULUAN
Teknologi
dan pengetahuan manusia di bidang pangan berkembang semakin canggih.
Perkembangan teknologi bidang pangan tersebut juga berdampak pada kepercayaan
konsumen, khususnya yang beragama Islam, di mana penentuan halal atau haramnya
makanan menjadi lebih sulit ditentukan. Untuk itu memang dibutuhkan regulasi
yang mengatur tentang hal tersebut. Negara mengakomodasi kepentingan tersebut
dengan menerbitkan berbagai regulasi, yang oleh penulis menyebutnya sebagai
regulasi sertifikasi produk halal. Namun keberadaan regulasi belum tentu
diterima dengan baik oleh masyarakat, khususnya pengusaha kecil di bidang
pangan dalam kemasan, atau dengan kata lain regulasi tersebut menjadi living
law.
PERMASALAHAN
Bagaimana
Pengaturan Sertifikasi Halal bagi Produk Makanan?
Bagi
orang muslim ketentuan mengenai informasi halal tidaknya suatu produk merupakan
hal yang penting, karena menyangkut pelaksanaan syariat. Maka baiknyalah
bilamana di Indonesia yang masyarakatnya mayoritas muslim dapat terjamin haknya
untuk mengetahui halal tidaknya suatu produk. Menyangkut UUPK, apakah
dimungkinkan bila sertifikat halal atau pemberian informasi tentang produk dapat
disebutkan atau dijelaskan "halal tidaknya" produk tersebut?
Terkait
dengan kehalalan suatu produk, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (“UUPK”) telah memberikan perlindungan bagi umat Muslim. Dalam Pasal 8
ayat (1) huruf h UUPK diatur bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi
secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam
label.
Karena
keterangan halal untuk suatu produk pangan sangat penting bagi masyarakat
Indonesia yang mayoritas memeluk agama Islam, pemerintah mengatur mengenai
label produk halal melalui UU No. 7
Tahun 1996 tentang Pangan (“UU 7/1996”) dan PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label
dan Iklan Pangan (“PP 69/1999”). Pasal 30 UU 7/1996 menyebutkan bahwa setiap
orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang
dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau
di kemasan pangan. Dan label tersebut setidaknya harus mencantumkan keterangan
halal.
Selanjutnya,
lebih spesifik diatur dalam Pasal 10 PP 69/1999 mengenai kewajiban produsen
produk pangan untuk mencantumkan label halal pada makanan yang dikemas sebagai
berikut:
Pasal 10 ayat (1)
Setiap
orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah
Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi
umat Islam, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib
mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada Label.
Penjelasan Pasal 10 ayat (1)
Pencantuman
keterangan halal atau tulisan "halal" pada label pangan merupakan
kewajiban apabila pihak yang memproduksi dan atau memasukkan pangan ke dalam
wilayah Indonesia menyatakan (mengklaim) bahwa produknya halal bagi umat Islam.
Penggunaan
bahasa atau huruf selain bahasa Indonesia dan huruf Latin, harus digunakan
bersamaan dengan padanannya dalam bahasa Indonesia dan huruf Latin.
Keterangan tentang kehalalan pangan tersebut
mempunyai arti yang sangat penting dan dimaksudkan untuk melindungi masyarakat
yang beragama Islam agar terhindar dari mengonsumsi pangan yang tidak halal
(haram).
Kebenaran
suatu pernyataan halal pada label pangan tidak hanya dibuktikan dari segi bahan
baku, bahan tambahan pangan, atau bahan bantu yang digunakan dalam memproduksi
pangan, tetapi harus pula dapat dibuktikan dalam proses produksinya.
Setiap
orang yang melanggar ketentuan-ketentuan yang diatur dalam PP 69/1999 diancam
dengan tindakan administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (2) yaitu;
a. peringatan
secara tertulis;
b. larangan
untuk mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untuk menarik produk
pangan dari peredaran;
c. pemusnahan
pangan jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa manusia;
d. penghentian
produksi untuk sementara waktu;
e. pengenaan
denda paling tinggi Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah); dan atau
f. pencabutan
izin produksi atau izin usaha.
Pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan tentang
label dan iklan produk pangan dilaksanakan Menteri Kesehatan (lihat Pasal 59 PP
69/1999).
Sebagai pelaksanaan dari PP 69/1999, Menteri
Agama mengeluarkan Keputusan Menteri Agama No. 518 Tahun 2001. Menteri Agama
kemudian menunjuk Majelis Ulama Indonesia (“MUI”) sebagai lembaga pelaksana
pemeriksaan pangan yang dinyatakan halal berdasarkan Keputusan Menteri Agama
No. 519 Tahun 2001 (“Kepmenag 519/2001”).Selanjutnya, Menteri Agama menunjuk
Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri) sebagai pelaksana
pencetakan label halal untuk ditempelkan pada setiap kemasan pangan halal yang
akan diperdagangkan di Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 525
Tahun 2001.
Dalam Pasal 2 Kepmenag 519/2001 disebutkan
bahwa pemeriksaan pangan yang dilakukan MUI meliputi;
a. pemeriksaan
dan/atau verifikasi data pemohon;
b. pemeriksaan
proses produksi;
c. pemeriksaan
laboratorium;
d. pemeriksaan
pengepakan, pengemasan dan pemyimpanan produk;
e. pemeriksaan
sistem transportasi, distribusi, pemasaran dan penyajian;
f. pemrosesan
dan penetapan Sertifikasi Halal.
Selain
itu, saat ini pemerintah dan DPR sedang membahas Rancangan Undang-Undang
tentang Jaminan Produk Halal (RUU JPH). Selengkapnya, silahkan simak
artikel-artikel berikut:
1. RUU
JPH: Pemerintah Tetap Andalkan MUI
2. Ketentuan Sertifikasi Produk Halal Tetap
Tercantum dalam RUU JPH
3. RUU Jaminan Produk Halal: MUI Tidak Ingin
Kehilangan Otoritas
Dasar
hukum:
1. Undang-Undang
No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan
2. Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
3. Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang
Label dan Iklan Pangan
4. Keputusan Menteri Agama Nomor 518/2001 tentang
Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan dan Penetapan Pangan Halal
5. Keputusan Menteri Agama Nomor 519/2001 tentang
Lembaga Pelaksana Pemeriksaan Pangan Halal
6. Keputusan
Menteri Agama Nomor 525/2001 tentang Penunjukan Perusahaan Umum Percetakkan
Uang RI sebagai Pelaksana Percetakkan Label Halal
PENUTUP
Di
sini dapat kita simpulkan bahwa yang menetapkan kehalalan di Indonesia adalah
Majelis Ulama Indonesia, mereka yang di beri kepercayaan oleh pemerintah untuk
menentukan kehalalan suatu produk makanan. Dalam menentukan kehalalan suatu
produk makanan dapat di lihat dari sertifikat yang di berikat oleh majelis
ulama Indonesia.
NAMA : LISNA ASWIDA
KELAS : 2 EB 19
NMP : 24210048
REFERENSI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar